Post-Modern Farming, Ketika Petani Menjadi Tuhan!
Kita mulai dengan perjalanan akal budi manusia yang jungkir-balik. Dulu pada zamannya, ide tentang dewa-dewi (dunia mitologi/fantasi) merupakan ide paling terang yang dijadikan cara pandang dan solusi atas segala-gala.
Kemudian berganti dengan segala-gala yang bersifat teologis. Dunia ini tidak se-chaos dunia mitologi. Segalanya tertata rapi, dalam tatanan ilahiah, diatur sedemikian rupa secara sempurna. Segala kebutuhan anak manusia telah disediakan dalam kitab sakti yang diturunkan Tuhan pada utusan-utusanNya.
Penghadiran Tuhan rupanya tidak lantas menyelesaikan segalanya. Nalar manusia, akal budinya tidak menemukan kemumpunian dalam Tuhan. Akhirnya peran-peran teologis yang selama ini dijadikan pusat kesadaran digeser oleh peran nalar. Segala hal tentang dunia menjadi bersifat antroposentris. Bukan lagi Tuhan dan teks-teks sucinya yang dijadikan solusi, melainkan nalar beserta logika-logikanya.
Postmodern Farming dan Pemberontakan Terhadap Tuhan
Salah satu gagasan terdahysat mengenai pemberontakan nalar pada teks ialah yang dikisahkan melalui dongengan Sisifus. Dramatisasi yang dibuat Albert Camus telah meyakinkan modernisme untuk secara utuh menerima "kutukan hidup"(meninggalkan Tuhan dan bersetia pada tubuh lengkap dengan nalar, intuisi, insting, dan indera di dalamnya)Apa hubungan semua perjalanan akal budi di atas dengan pertanian dan khususnya dengan hidroponik?
Dunia pertanian pun demikian adanya, tidak ajek dalam kemapanan tertentu. Filosofinya senantiasa mengalami pergeseran dan pembaharuan-pembaharuan bahkan yang sangat radikal. Dunia pertanian hari ini semakin memperlihatkan tren yang meningkat untuk beranjak menuju sistem pertanian soilles-garden (hydroponic), lebih canggih lagi ALG (Artificial Light Gardening) atau juga vertical gardening (verticulture).
Konsep bertani hadir sejak manusia belum mengenal tulisan, setelah manusia "KZL" sama cara hidup berburu dan nomaden. Praktik pertanian pada fase awal ini ditandai dengan relasi antara manusia dan alam yang terjadi secara mitis.
Relasi yang menjadikan kekuatan di luar alam (sekaligus di luar manusia) sebagai faktor penentu utama atas keberhasilan proses pertanian mereka. Bukan unsur hara, bukun pH, bukan cara semai yang menentukan kualitas dan kuantitas hasil pangan melainkan dewa/Tuhan. Manusia masih memerankan dirinya sebagai yang tak bermakna, sebagai yang tak berdaya.
Entah karena gagal panen atau bosan dengan hasil panen yang tidak mencukup, akhirnya fase berkebun di atas ditinggalkan. Manusia mulai tahu bahwa yang mengatur kualitas dan kuantitas pangan agar bagus itu bukan dewa-dewi/Tuhan melainkan alam di sekitarnya.
Pada fase ini relasi antara manusia alam berjalan sinersgi, di mana manusia sangat menghargai keajekan alam semesta sebagai keseimbangan, mereka memperlakukan alam sebaik mungkin agar relasi keduanya senantiasa seimbang.
Fase berikutnya nalar menemukan jalan berkebun lebih canggih, dibuatlah aneka sistem pertanian yang lebih canggih. Di Cina misalnya ada teknik drip sistem dalam bentuknya yang masih sangat sederha, ada "akuaponik" bangsa Aztec dan seterusnya.
Perkembangan berikutnya ditandai dengan pemberontakan terhadap alam. Aneka sistem pertanian yang semakin canggih perlaha membuat manusia dan nalarnya menjadi jemawa. Mereka mulai mengingkari fakta dirinya sebagai bagian dari ruang kosmik, sebagai bagian dari keseimbangan alam. Manusia mulai menciptakan pupuk kimia, racun kimia, dan memperlakukan alam sebagai objek eksploitasi yang diperlakukan secara semena-mena. Keseimbangan antara manusia dan alam, sudah sangat jungkit.
Petani tidak butuh membaca doa dan menyembelih sesajen berdarah-darah untuk menanam sawi, mereka hanya butuh kadar pH yang benar, kadar PPM yang tepat, sistem yang baik, dan sebagainya. Faktor alam sudah selesai, dientaskan oleh GH, faktor Tuhan sudah tak lagi bermakna. Petani pun kini menjadi Tuhan.
Tidak ada komentar: